RINGKOT MINGGU, 13 AGUSTUS 2023

MAKNA & KOMITMEN HIDUP

(PDT. BAJU WIDJOTOMO)

Pengkhotbah 1:1-11; 2:24-25; Efesus 5:15-17

Pertanyaan mengenai apakah makna hidup manusia menjadi sebuah pertanyaan dari zaman ke zaman. Para pemikir, para filsuf bahkan sampai abad ini selalu menanyakan apakah makna hidup manusia? Setiap zaman memberikan jawaban-jawaban yang semuanya terlihat benar, bahkan ada beberapa dari pemikiran zaman yang terus menerus dibawa sampai kepada zaman ini. Ada beberapa pemikiran yang seringkali mempengaruhi hidup kita. Filsafat kuno ditulis kembali dengan bahasa modern. Stoa dan Epikurean dianggap sebagai suatu kebenaran, padahal di dalam masa lampau di dalam zaman Tuhan Yesus sudah dipatahkan oleh firman Tuhan.

Ada seorang filsuf Perancis yang bernama Albert Camus, tulisannya mendapat hadiah nobel sekitar abad dua puluh pertengahan. Filsafatnya disebut dengan absurdisme. Hidup itu tidak jelas, absurd. Tulisannya menyebutkan hidup manusia berjalan tanpa makna, tidak tahu arah dan tujuan. Tetapi, hidup kita seringkali seperti pemikiran Albert Camus. Dia menceritakan satu kisah bernama Sisyphus yang dihukum para dewa karena melakukan kesalahan. Para dewa memberikan tugas untuk Sisyphus berbadan besar dan kuat untuk menggelindingkan batu besar sampai di atas puncak.

Lalu saat tiba di atas, batu itu terus jatuh menggelinding ke bawah, dan begitu terus menerus demikian ia mencoba. Seperti filsafat Jawa, hidup manusia seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Waktu di atas jangan sombong karena suatu hari akan di bawah, waktu di bawah jangan minder karena suatu hari kamu akan di atas, hidup tidak jelas.

Akan tetapi, ribuan tahun sebelum Albert Camus ada Raja Salomo, anak Daud raja di Yerusalem, yang menulis kitab Pengkhotbah. Semua penafsir setuju, penulis daripada Pengkhotbah adalah Salomo. Seorang raja yang penuh hikmat dan berkuasa, serta paling kaya pada zaman itu. Namun, sejarah menuliskan pada masa tua Salomo, hatinya terpikat oleh isteri-isteri dan gundik-gundiknya yang menyembah berhala, maka Tuhan menghukum dia. Kerajaannya tidak akan tetap, kerajaannya dipecah. Pengkhotbah ditulis sebelum Salomo meninggal dunia, saat dia kembali disadarkan apa arti dari makna hidup dan dia memulai dengan satu kalimat, kesia-siaan belaka.

Bila kita membaca kitab Pengkhotbah hingga akhir, maka kita akan menemukan dimana hidup kita tidak lagi sia-sia dan memiliki makna. Pengkhotbah mengaitkan satu kata-kata yang kontradiksi, bahkan paradoks di dalam bagian ini.

Dia memakai kata kesia-siaan dalam bahasa Ibraninya adalah nephesh yang berarti nafas. Apakah kita bernafas itu sia-sia? Sudah ditarik susah payah, lalu kita dibuang. Tetapi bila kita tidak bisa menarik nafas lagi, maka kita game over. Kata nafas itulah yang dipakai dalam kata kesia-siaan. Pengkhotbah berkata, apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Kita kerja untuk apa? Jikalau hidup tidak dikaitkan dengan Tuhan, tidak berpaut kepada Tuhan, hidup tidak melihat, bahwa hidup kita merupakan anugerah Tuhan semata. Maka, hidup kita di tengah jerih payah tidak ada bahagia dan sukacita.

Albert Camus melanjutkan pemikirannya, saat Sisyphus bekerja menggelindingkan batu, itu kebahagiaannya. Ketika kita bekerja, terutama yang sudah tua, cerita ke anak-anak tentang kesulitan dan susah payah dalam bekerja diperjuangannya dulu, tetapi anak dari kecil keinginannya adalah kesenangan dan tidak mau bersusah payah. Tidak ada pekerjaan yang bahagia terus.

Pengkhotbah menuliskan, dalam Kitab Pengkhotbah pasal satu ayat sebelas, kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya. Hidup tidak dikaitkan dengan Tuhan, lupa semua. Tetapi kita bisa tahu siapa Abraham, Nuh, Daud, karena mereka orang-orang yang mengaitkan hidup dengan Tuhan.

Hidup itu tidak absurd, di hadapan Tuhan hidup menjadi jelas. Tuhan menciptakan kita dengan tujuan dan makna hidup supaya kita mempermuliakan nama-Nya dan bekerja bagi Dia, baru kita dapat mengerti makna hidup dan menemukan kesenangan dan sukacita di dalam Dia.

Dalam Filipi pasal empat ayat empat dikatakan, “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Hidup Kristen bukan sekedar hidup susah payah tanpa ada sukacita di dalamnya, hidup Kristen punya makna, sehingga di dalam jerih payah kita, kita bisa menemukan sukacita dan kesenangan di dalam Dia. Socrates mengajukan satu pertanyaan, apakah tujuan hidup tertinggi bagi hidup manusia? Dia memberikan jawaban, tujuan hidup tertinggi adalah menjalankan kebajikan tertinggi. Kebajikan tertinggi adalah melakukan kebajikan untuk kebajikan itu sendiri, pemikiran yang luar biasa. Bila kita menolong orang lain dan mendapatkan balasan, itu adalah sebuah kejahatan. Tuhan Yesus lebih dalam lagi, bila kita mau menolong orang lain, perbuatlah kalau bisa kepada orang yang tidak mungkin akan bisa membalasnya kepadamu. Maka, Bapa di Surga akan membalaskannya kepadamu. Salomo menyadari, dia memiliki banyak istri akan senang, ternyata tidak. Dia pikir dia berhikmat, ternyata ketika dia meninggalkan Tuhan, itu seperti orang bodoh yang tidak punya makna hidup. Sampai akhirnya Tuhan menyadarkannya dan melihat segala sesuatu sia-sia.

Pengkhotbah mengatakan, Tuhan membiarkan dia di dalam kesenangan sampai lupa umur. Berapa banyak orang tua sudah terbaring sakit baru cerita dulu salah karena kebanyakan merokok sampai kena kanker. Ketika sudah terjadi baru ingin membatasi diri, tapi tidak bisa, karena termakan teorinya Aristippos untuk nikmati kesenangan saat ini, masa depan belum tentu ada.

Dalam pemikiran iman Kristen, Yesus tidak menyebut kita budak, Dia memanggil kita sahabat. Dia memberi tahu, bahwa Dia adalah sahabat sejati. Satu lagu yang terkenal, Yesus Sahabat Sejati, lagu yang begitu indah. Yesus sahabat sejati berkorban untuk kita, mau diganggu oleh kita. Dimana kita menemukan sahabat seperti ini jikalau kita tidak hidup dan mengerti sahabat sejati, yaitu Yesus Kristus yang menjadi pusat daripada iman kita? Hidup itu jelas di dalam iman Kristen, tidak absurd. Di dalam jerih lelah kita, kita menemukan sukacita, kita menemukan kesenangan di dalam Tuhan.

Pengkhotbah pasal dua ayat dua puluh empat sampai dua puluh lima, siapakah yang dapat merasakan kenikmatan di luar Dia? Jawabannya, tidak ada. Kenikmatan itu bisa kita nikmati ketika kita ada di dalam Dia. Kesenangan sejati dapat kita nikmati bila kesenangan di dalam Allah. Di luar Tuhan segala sesuatu adalah sia-sia dan tidak jelas. Di dalam Tuhan, jelas sekali. Suatu kali Tuhan Yesus dipanggil oleh orang, Ia mengatakan, “aku mau ikut Engkau.”

Tetapi Kristus menjawab, “Burung punya sarang, serigala punya liang, anak manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya.” Masih mau ikut? Suatu kali Yesus yang panggil orang, “Ikutlah Aku”, lalu orang itu menjawab, “Tunggu dulu aku mau menguburkan ayahku”, Yesus menjawab, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati.” Ada yang mau pamit dulu dengan orang tua, Yesus menjawab, “Orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang tidak layak untuk Aku.” Ini kalimat yang begitu keras sekali.

Dalam Pengkhotbah pasal enam, Salomo sadar di akhir hidupnya dia memiliki semua, seperti kekayaan, kemuliaan, dan kekuasaan. Tetapi, pada waktu dia hidup di luar Tuhan, dia menyadari satu hal, dia tidak bisa menikmati semua itu. Karena kuasa untuk menikmati tidak diberikan kepadanya, itu menyedihkan.

Ada suatu video di China, seorang pergi ke rumah sakit, kanker stadium empat. Dia membawa banyak uang untuk minta kesembuhan dokter, tapi dokter menjawab tidak bisa pasti sembuh, harus dirawat dan tidak jamin bisa sembuh. Dia kecewa sekali, dengan sedih dia melemparkan uangnya yang banyak itu sambil meratap, “Untuk apa punya uang banyak bila sebentar lagi saya mati?” Hidup tidak jelas, jika kita tidak mengaitkan dengan Tuhan. Biarlah kita boleh menyadari hidup kita di hadapan Tuhan. Kita adalah manusia yang terbatas dan bergantung kepada Tuhan dan orang lain.

Dimanakah kita bisa menemukan sahabat sejati? Kecuali kita bersama-sama bergantung kepada sang sahabat sejati, yaitu Yesus Kristus Tuhan kita. Pemikiran daripada Socrates disayangkan, karena tidak sampai kepada Sang Kebajikan Sejati. Alkitab menuliskan, lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Alkitab membongkar pemikiran filsafat yang salah ini. Kita tidak melakukan sesuatu untuk sesuatu yang impersonal. Kebahagiaan kita bukan ketika kita bisa menggelindingkan batu. Kebahagiaan kita adalah ketika kita melakukan untuk Dia yang mencipta dan beranugerah kepada kita. Dia yang sanggup menahan ketika batu sampai ke atas, agar tidak jatuh lagi ke bawah.

Doa daripada Musa, “Teguhkanlah perbuatan tangan kami”, Musa melihat ke depan. Siapakah yang bisa menahan pekerjaan tangan kita? Hanyalah Tuhan Yesus Kristus yang menjadi Batu Penjuru, Fondasi untuk hidup yang tidak akan digoyahkan oleh apapun di dalam dunia. Hanya di dalam Dia, kita bisa menikmati kesenangan yang sejati, bersukacita di dalam iman, Tuhan, dan pengharapan. Rasul Paulus menulis, di dalam penderitaan dia bersukacita karena melihat pekerjaan Tuhan yang terus dijalankan sampai selesai. Tuhan Yesus mengatakan, “Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gerejaKu”, ini adalah komunitas yang Tuhan dirikan, di dalamnya kita dapat menikmati Dia dalam segala anugerah-Nya.

Tuhan memberkati kita untuk menjadi saluran berkat bagi orang lain, bukan untuk diri sendiri. Bila kita tidak mau menjadi saluran berkat seluas mungkin, hidup itu absurd, tidak jelas. Ketika kita hidup menjadi saluran berkat, maka kita akan melihat, bahwa Tuhan Allah adalah Tuhan yang memberi berkat.

Kesimpulan pertama, hidup kita bermakna ketika kita mengerti karunia Tuhan, Dialah sumber yang memberi segala sesuatu. Kedua, biarlah kita boleh mengerjakan segala sesuatu menjalankan kehendak-Nya. Ketiga, biarlah kita boleh terus menerus bekerja untuk kemuliaan Dia, di dalamnya kita menikmati Dia. Tujuan tertinggi dari hidup manusia adalah memuliakan Dia dan menikmati Dia selama-lamanya. Hati-hati dengan gereja-gereja yang hanya menawarkan suasana yang nyaman, lalu menghias gereja seperti diskotik. Kesenangan seperti itu yang hanya dinikmati mata dan telinga hanya sebentar. Alkitab menuliskan satu kengerian yang besar, Tuhan membiarkan mereka lupa umurnya, karena Tuhan membiarkan mereka hidup dalam kesenangan. Biarlah Tuhan memimpin kita, agar apa yang kita lakukan bermakna dan tidak absurd, tetapi mempermuliakan nama-Nya. Mari kita berdoa.

(Ring­kasan khotbah ini belum diperiksa oleh peng­khotbah).

GRII DENPASAR

Komp. Sudirman Agung blok F19-24, Jl. P.B. Sudirman, Denpasar.

Kebaktian Minggu: KU1 Pkl.07:00 WITA | KU2 Pkl.09:30 WITA

Telp. 0361 241 053 | 0823 4110 4110